Sore
itu langit tak lagi jingga, tak ada senja, seakan-akan ia membanggakan dirinya,
bahwa dia memiliki beraneka ragam warna, seperti suasana hari ini misalnya, ia
berwarna abu-abu. Seperti pikiranku yang entah apa dan kenapa. Aku duduk
disebuah teras berhadapan dengan danau, banyak orang disekitarku sedang
menikmati akhir pekan, dengan bergandeng tangan, berkumpul tenang sambil
berbicara tentang banyak hal, yang entah apa maksudnya, aku tidak mengetahuinya.
Sore
ini adalah sore dimana kehilangan sudah berjarak 1 bulan lamanya, tentang
seorang wanita yang mencintai pria, dan tentang seorang pria yang mencintai
wanitanya. Aku adalah seorang pria yang mencintai wanitanya. Tuhan seperti
memiliki selara humor yang aneh, kita dibuat bagaikan sebuah permainan ular
tangga, yang saling kejar mengejar kesebuah garis, yang dikenal sebagai garis
finish.
Awalnya niatku pergi dalam kehidupannya, hanya
karena sudah tak mau lagi mengganggu kehidupan dia bersama orang yang ia
cintai. Akhirnya aku tak bisa menerima. Ketika waktu aku dateng beranjak
kesebuah pesta pernikahan teman seperjuangan, sebetulnya aku tak melihat dia
yang turut hadir juga diacara pernikahan itu, ternyata ia dateng bersamaan
dengan orang yang ia cintai, entah kenapa ketika mata tak mampu melihat, tapi
benak merasakaan hal yang tak terduga, semacam firasat buruk mengutuk tubuh
yang kian kusut. Padahal aku berusaha menggap firasat ini bukan disebabkan
apa-apa, mungkin memang disebabkan dengan perihal-perihal kehidupan aku yang kian
terbayang akan masa depan.
Pada
saat matahari terbit, aku beranjak menuju kampus dari rumah, kali ini aku tidak
mengenai kendaraan beroda dua, aku lebih memilih naik angkutan umum sambil
melihat keramaian jalan yang kian sesak, sendat dan padat oleh mesin-mesin
berjalan. Aku duduk berdampingan oleh supir angkutan umum, sambil menikmati
sebatang rokok yang barangkali menyumbang suatu volusi diantara banyaknya
volusi dan tak menyehatkan udara, ah namanya juga tempat umum bung, pikirku.
Satu persatu orang-orang memasuki angkutan umum yang aku tumpangi, entah apa
yang merasuk pikirku, tiba-tiba saja aku menjadi kaum intelektual yang sok
bijak, pikirku kurang lebih seperti ini: setiap
orang memang memiliki hak, baik hak diri, keluarga, kelompok, ataupun semaca
apa yang aku kurang tahu hak hidup orang lain, tapi tidak semua hak yang kita
miliki itu sepenuhnya milik kita, sebagian hak kita juga milik orang lain.
Misalnya seperti situasi aku yang sedang merokok didalam angkutan umum ini, aku
tahu merokok adalah hak aku peribadi, tapi orang lain memiliki hak udara segar
yang ia hirup dalam-dalam. Dan penumpang angkutan umum yang aku tunggangi ini,
dimayoritaskan sekelompok ibu-ibu, tanpa pikir panjang, rokok aku buang.
Seusai sampai dikampus, ternyata jam mata kuliah tak ada, yang mestinya
tertulis dijadwal 3 mata kuliah hari ini, dan dosen-dosen hari ini lebih suka
berlibur dengan hasil gajih buta, pikirku. Pada hari ini juga aku seperti biasa
dua minggu sekali mengganti atau mengotak ngatik mading, maklum pengurus mading
hehehehe. Seusai menerbitkan suatu tema, yang masih memiliki kehangatan dalam
berita mengenai “AKSI 411” aku bersama
teman-teman saling canda, candu, mengadu perihal-perihal apa yang akan menjadi
tema mading berikutnya. Pada saat itu, teman aku mengajaki aku bercanda dengan
video-video meme yang berada di media sosial instagram, entah apa yang membuat
aku ingin juga membuka akun instagram aku, dan ketika aku buka akun instagram
aku, ternyata ada sesak didada, penuh resah, gundah dan terbelah entah apa itu
namanya, tapi seperti tersayat-sayat , tersendat-sendat oleh benda-benda tajam
yang mempu memisahkan tubuh-tubuh ketimun. Ternyata aku melihat sebuah foto,
tentang perihal pesta pernikahan teman seperjuangan aku, bersama dia yang
mencintai pria, dengan pria yang memiliki komitmen tinggi tehadap dirinya. Dan
pada saat hari itu juga semua media-media sosial aku yang berkaitan atau
berteman dengan dia, aku delcon dan unfollow dia. Bukan karna kecewa
sejujurnya, cemburu mungkin memang hadir, tapi semua itu aku lakukan untuk
menetralisirkan perasaan yang aku miliki, agar tak ada benci apalagi sampai
mencaci. Tapi begitulah cinta, sensitif akan cemburu dan kecewa, pura-pura berkorban
demi kebahagian apa yang dicintai, yang sebenarnya tak pernah diterima oleh
perasaan sanubari perihal hati. Tapi dibalik itu semua aku melakukan demi
kebahagian dua manusia, yang barangkali memang sudah menjadi takdir dalam
catatan Tuhan. Hanya saja untuk saat ini, seperti ada yang tertinggal sebagian
diriku dalam dirinya, hari-hariku hanya bercerita tentang dia seorang, tak ada
hari dimana ia tak hadir, sekan-akan
jarak dan waktu diciptakan Tuhan hanya menjadi sebuah alat ukur, dan melupakan
adalah cara terbaik untuk membunuh diri. Aku hanya igin ketenangan didalam
hidup yang penuh peraturan, bukankah semua orang ingin tenang dalam hidupnya?
Begitu juga dengan aku. Ternyata patah hati itu lebih mengasyikan, ketimbang
perihal perasaan yang tak ada jawabnya, yang semakin hari pertanyaan-pertanyaan
bertumbuhan subur dikepalaku.
Demi
cinta aku berjanji, demi rindu aku mengabdi, kala mentari tak pernah bosan
berputar sesuai porosnya dan bulan kian mengasyikan menyembunyikan dirinya di
balik awan-awan hitam. Siang selalu usai dengan rindu yang tak pernah terbalas,
malam selalu datang membawa tentang menanti-nanti, ada waktu yang melulu berisi
harapan memandang mentari dan bulan dikedua kelopak matamu. Langit menjadi
tempat paling indah bagi namamu, imajinasiku tempat tubuhmu bermain dan bekerja
yang tak pernah ada bosannya. Tertatih-tatih berasa letih ketika aku selalu
bertengkar kepada diriku yang berusaha berontak melawan kenyataaan, kenyataan
hati yang selalu mencintaimu, tentang mata yang memandang wajah-wajahmu dalam
tubuh orang-orang asing.
Satu
bulan usai sudah, sebuah sunyi yang melanda diri. Ketika waktu berpihak pada
jarak dan hilang, berkali-kali kalimat pulang selalu mengganggu saraf-saraf
kepala. Tidak ada hari tanpa rasa khawatir, khawatir seakan-akan adalah sebuah
hari yang mesti dinikmati pada secangkir kopi. Ternyata lari dari kenyataan
bukan sebuah solusi untuk menenangakan diri. Cemburu adalah sebuah kalimat dari
sebab hilang, dan rindu adalah sebuah kalimat dari sebab ingin pulang.
Menyesal? Iya, aku menyesal karna telah pergi meninggalkan sesuatu yang sudah
begitu subur. Tapi, bukankah penyesalan memang selalu datang belakangan. Tiada
hari tanpa perlawanan, ketika bayang menjadi alasan untuk mengenang matamu,
senyummu dan kisahmu. Melupakan, seperti cara terbaik untuk membunuh diri.
Itulah hari-hari dalam rutinitas diri.
Komentar
Posting Komentar