Oleh: Alfin Hasanul Kamil, S.Sos.
Sudah sejak berabad lamanya karya sastra menjadi semacam kanalisasi serta turut menyampaikan pesan sosial dan kemanusiaan, yang di tulis banyak pengarang besar dunia, seperti Jalaluddin Rumi, Nizam Al-Ganzavi, Albert Camus, Haruki Murakami, dan pengarang besar lainnya. Di Indonesia sendiri dapat kita jumpai pada karya-karya Pramoedya Ananta Toer, Aan Mansyur, Ws Rendra, Chairil Anwar, Seno Gumira Adji Darma, dan lain-lain.
Para pengarang tersebut bukan semata-mata ditulis karya sastra sebuah keindahan atau penghibur bagi pembaca, namun lebih dalam menggambarkan gejolak sosial, politik, hingga kemanusian pada zamannya. Karya-karya mereka boleh fiksi, namun berangkat dari kesadaran dan kegelisahan yang terjadi di sekitar mereka atau realitas sosial pada zamannya.
Menurut A Teew manusia di samping menjadi homo sapiens, homo faber, homo lequens, juga menjadi homo fabulans yaitu sebagai makhluk bercerita atau bersastra. Begitu manusia belajar bahasa sebagai alat komunikasi untuk kehidupan sehari-hari, manusia juga mulai belajar mempermainkan bahasa demi tujuan lain. Dipangkuan ibunya manusia sudah manusia bersastra, hal ini bisa lihat pada sepenggalan nyanyian anak-anak dalm bahasa jawa yang sangat sederhana:
Keplok ami-ami
Walang kupu-kupu
Awan maen roti
Bengi mimik susu
Dalam nyanyia yang sederhana itu banyak unsur puisi sudah terlaksana dan terkumpul, hubungan manusia dan sastra sudah bisa dipastikan hubungan yang erat, jika kita memposisikan manusia sebagai homo febulans yaitu sebagai makhluk bercerita atau bersastra.
Komentar
Posting Komentar