Langsung ke konten utama

Kumpulan Puisi Di Bulan Juli.

KUMPULAN PUISI
ANGGOTA KELAS PUISI BEKASI (KPB) KELAS B
BULAN JULI











TEMA
1. MUSEUM
2. BEBAS
 

SYUKUR

Bunga putih
Bunga ungu
Bulan bertanya pada dirimu
Mengapa engkau tumbuh di sana?
Di puncak-puncak gunung
Hanya sedikit orang yang bisa menikmati keindahan engkau
Hanya para pendaki gunung itu

Bunga putih
Bunga ungu
Walaupun hanya sedikit orang yang menikmati keindahan mu
Engkau malah bersyukur
Telah diberi hidup oleh Yang Maha Hidup
Yang tak pernah engkau pinta

Bunga putih
Bunga ungu
Tak berapa lama kau hidup
Menyemarakkan warna dan udara di puncak-puncak gunung
Agar tak hanya coklat dan abu-abu di atas sana
Lalu, mati

Bunga putih
Bunga ungu
Kami belajar kepadamu
Tentang cara dan bagaimana bersyukur
Pada banyak hal dalam hidup ini
Agar kami menghargai hal-hal yang telah ada
Dan tidak sibuk terhadap hal-hal yang masih fatamorgana

Karena hanya dengan bersyukur, hidup akan bertambah nikmat

-------
Fajrin Agustian

Hamba yang kurang bersyukur
 

Budhy Setyawan
SAJAK SAJAK MASA DEPAN

yang memanjang lewat televisi, jaringan komputer, telepon genggam, apakah itu. gambar hambar membandang dengan bumbu khayal yang telah terlampau tua untuk dibilang seksi. menyulap ruang ruang saling memunggungi, keasyikan mencipta dunia, mengirim desak hisap ketergantungan mengatasi musim musim yang sendiri. 

orang orang memandang langit malam hari, di bawah tiang listrik yang lampunya mati. kelam dan diam, tak ada cahaya dan suara. tiap tiap wajah memviralkan mimpi, seperti hendak kirimkan pesan keintiman antar galaksi. dengan siapa ada di semesta ini, saat segala keasyikan diri berpusar di kejaran asing masing masing. 

kata kata begitu gesit bermain dan menari dalam kalimat, hingga cuaca mabuk dan tak pernah sampai mencari alamat. apakah masih ada ruang bagi percakapan, atau sekadar berbagi nasib yang telah remuk dikhianati kenyataan. o, segala wahana begitu sempit, terus saja dijejali teriak dan menjelma timbunan jerit.

Juli,2020
 

Subaidi
BERJUANG ANAK RANTAU

Aku bukan sarjana
Yang paham  keluh rakyat, dan menyuarakan 
bukan pula pendeta
selalu mengerti sejarah dan kearifan

Hingga akhirnya
Mengenyam kesenangan
 titel menjadi jaminan
 dan lupa kemanusiaan

Dari situ 
Aku memilih  mengembala tanah Jawa
Meski sensara jauh kata seraka
musim demi musim, di lahap pabrik gula
agar, pahit tak menyetubuhi gelandangan tua

Merdeka untuk sesama
bukan hanya keluarga

Malang, 2020
 
Gusti Fahriansyah
Menikmati Musim


Langit berkata kepadaku: aku bisa menangis, namun stomatamu lebih awal memulai hujan. Angin barat dan timur beradu. Awan menunda segala perpindahan, menghitam. Di langit mataku.
Sedang, sisa sia-sia penyair menjadi cinta. Dan tuhan sedang bercanda. Bercanda bersama kita dan kata di kepala. Kita hari yang berbeda, katamu. Namun, aku langit. Merindukan sungging pelangi di bibirmu. 
Aku membuka almanak yang menyimpan angka-angka kusam. Sama sekali tidak ada kedip matahari. Puisi menatap jemari yang gigil. Mataku tertuju pada kaki yang tercatat di akhir bulan. Ah! sekarang musim cinta, angin sedang membawa angka berwarna.

MataPena 2020.
 

Sudarmono 
JEJAK DI SUDUT KOTA

Setiap kota ada museum
tetapi kita belum tentu maklum
saat para penjajah cinta negeri ini
jiwa Nusantara lepas dan musnah
lupa tiap jejak peradaban
ditinggal begitu saja peninggalan itu

Museum ada dimana mana
dari desa kota sampai ibukota negara
adakah celah museum di hati kita
saat anak bangsa lupa asal usulnya
tergerus adat istiadat orang asing
lebih memujanya agar lebih modern

Candi, lingga yoni, gedung juang
kerajaan kuno, tulisan lontar, kitab
adalah hanya beberapa bukti itu ada
hatimu hati ku hati kita juga museum
tatkala tak diajar sadar sendirinya
dan museum hidup menjadi ilmu

Tambun Utara, 15 Juli 2020
 


Nugroho Putu
Tak Kesepian

untuk kau yang mengaku tak kesepian,
angin malam katamu: teman muram
dinginnya kau kalahkan
bergelas-gelas gelak kau tenggak

kau penari di tengah dentuman bingar
gemulaimu mengisi setiap rongga gelisah debar
kau mengaku tak kesepian
ini semua, katamu: tentang penaklukan

kau penari di rimba gemerlap di setiap hentakan mata mengerjap
sinar tatapan itu menusuk masuk lalu rengkuh isi hati
kau memang mengaku tak kesepian
ini semua, kataku: tentang kehilangan

padahal aku bisa bantu 
jika kau memang butuh sesuatu
untuk menahan roda pedati mimpimu
yang perlahan bergerak mundur di jalanan menanjak yang kau pilih.

18/07/2020
 


Sriyatun 
KOPIKU

aih, aroma kopi ini
membawa lamunanku jatuh padamu 
memaksa kakiku untuk menyusuri ruang kosong itu
aku termangu, 
kenangan seolah tertawa
melihat ketidakberdayaanku 
tak mampu menghapus jejakmu dari ingatan 

"hei, kenapa diam? kemarilah pungut aku?"

aku tersentak
suara itu menggema di telinga
pelan pelan kuayunkan kaki
memungut satu persatu kenangan 
berserakan di lantai
dadaku panas, api rinduku semakin menyala

biar saja kukantongi semuanya
akan kujadikan pemanis 
saat menyeduh kopi di malam hari
barangkali kepulan asapnya 
mampu membawamu kembali ke pelukku


"ah, rupanya rindu ini masih milikmu"

Kupang, 2020
 


Irsyad
Sembahyang Sungai

Dalam urai alir, teriring usia waktu
aku tuju angin, antara dada sungai
dan telapak kaki bisu batu-batu.

Doa-doa berhamburan bagai kawanan capung
yang terbang melingkup di dedaunan
pohon mengerubungi luas muara, 
oh, seandainya burung pipit 
bersarang di anak kanal,
lalu beranak-pinak menyeru syair dari hulu
hingga meringkuk diam di usai senja.

Dalam keheningan aku bertanya
tentang mimpi sungai, teriak Tetua adat berada,
ia sering menjelma camar lapar yang menampar.

Pernah kumenyangka menjadi segala gemericik
airnya. Langkah dari pejalan merambatkan
salur menyusuri barat sungai hingga
terbit fajar dari selatan tiba.

Aku pernah bermimpi, menenggelamkan kisah
paling sedih, muara paling bening, menuju 
akhir sisi bara dari hati.

Ikan-ikan menata kembali kitab mereka
yang telah lama usang. Ia bagai memanjat rimba 
pepohonan yang menjulurkan ke arah lidah sungai, 
ada saat hantu-hantu hilir berdoa di sana, 
lalu doa mereka merintih perih, di mana ada niat
menambal kembali sejarah yang bolong, mantra-
mantra ditiupkan, lalu kembali lagi peradaban mereka
menjadi kabut yang lama hilang, menapak tilas waktu, merintih lagi
di batu-batu pinggir kanal itu.

Malam tiba, dawai-dawai bunyi batu saling
bersahutan memakan arus, hanya terdengar dalam telinga.
Aku sekali lagi menjelma muslihat
dosa. Pagi menata embun di telapak orang berdoa.
Siang mengulur dada pada sisik musim yang dahaga, kanak-kanak mengaji.
Malam abadi, aku larut dalam tidur sunyi.

Jepara, 2020
 


Jamil 
Cerita Cinta dari Lintas Barat Sumatera

Ratusan kilometer ditempuh sembari mengombinasikan kata demi kata.
Berhari-hari sudah,
Setelah raungan sinis mesin tua,
Kelam kepulan asap hitam sesepuh Bukit Batu itu memekak telinga.

...

Semalam sebelumnya, cinta buta merasukiku.
Menyulut keberanianku untuk menyuarakan endapan rasa itu.
Rasa yang mestinya dibiarkan terpendam,
Namun akan selalu tersimpan.

...

Terjal turunan Bukit Mayit subuh itu,
Menghadirkan birunya Samudera Hindia, senandung angin laut.
Yang harus aku lewati dengan meringsut,
Menuruni bibir jurang-jurang berkabut.
Sama halnya seperti rasa itu; indah, namun nyaliku dibuat takut.

...

Sirine kapal menggema, mengantar aku ke tanah Jawa.
Merak semakin menjadi jarak.
Masih jauh harus aku tempuh.
Sampai Bandung menyambutku dengan hujan,
Dan ...
Dingin menyampaikan pesan:
"Rasa itu harus segera dihilangkan."

...

Namun bimbang, menuntun aku bertahan.

Juli 2020
 


Suhendi RI
THE PURGATORY MUSEUM

Saat pintu terbuka
Kesan angker bertabur mistis
Membuat jantung berdetak

Di dalam lorong yang sunyi
Seperti menembus gerbang astral
Sayup terdengar jeritan mistik

Pada dinding berambut putih
Mengekspos dokumentasi jiwa kelam
Satu pemandangan paling mengerikan

Sebuah buku di bagian halamannya
Terdapat cetakan telapak tangan yang terbakar
Juga bayangan wajah kesakitan di tembok hitam

Mungkinkah?
Mereka arwah yang terjebak di api penyucian

Banjarnegara, 18 Juli 2020
 


Dedi Wahyufi
TEH MANIS DAN ROTI BAKAR

Dwi hidangan manis tersaji
Di pagi ahad legi
Asupan gizi
Untuk acara gotong royong keluarga kami
Memangkas pohon ceri nan tinggi
Agar tidak menimpa rumah bulek Yati
Sebelum pergi
Sarapan teh manis dan roti yang dibakar dengan api oleh sang istri
Roti dipotong kecil-kecil supaya mendapat bagian sendiri
Mensyukuri pemberian Illahi
Kini dan nanti

Karimun,19072020
Pukul 07.30 wib
 


Irma Warhamni F
Wanita Biofera

Sang surya mulai menjelajah alam
Embun pagi pun menghilang
Meninggalkan bekas di daun yang basah
Balutan sinar mulai menghangatkan jagat raya
Iringi langkah seorang wanita
Langkah yang begitu kuat
Akan tetapi tak seorangpun mengira
Nostalgia hidupnya tak seindah purnama


Fenomena kehidupan yang tak bisa ditebak
Elusif , begitulah maknanya
Biarpun hanya seorang wanita biasa
Racun kehidupan pun ia lewati tanpa air mata
Ukir sejarah dalam cerita
Akrab dengan alegori sutra
Raflesiapun menjadi harum semerbak
Ialah... sang wanita biofera




-Mata Kucing
 


Rindayani 
RISALAH MALAM

Pangeran..
Rembulan telah sempurna di matamu
Menerangi jagad dengan cahayanya yang gemilau
Semburatnya membawa ingatanku pada kenangan
Dibalik purnama bulan lalu

Pangeran..
Biarkan hangat tubuhmu menemani
Sepanjang malamku yang dingin
Agar dapat ku nikmati
Sepenggal kisah
Bersama indahnya cakrawala

JULI,2020
 


Alvin Hasanul Kamil
Museum Kepala

Kau tahu
Alasan kenapa Museum didirikan? 
Manusia ingin mengabadikan suatu masa lampau sebagai peradabaan yang terekam dalam ingatan
.
Manusia percaya bahwa Tuhan menciptakan kepala untuk mengingat bukan untuk melupakan
Dan kau, tidak lain benda yang abadi dalam ingatan dan tidak mungkin untuk terlupakan
Apakah lupa? Sebaik-baiknya kisah Cinta!
.
Bekasi, Juli 2020
 


Alvin  Hasanul Kamil
Wanita dan Isi Kepala Lelaki

Wanita-wanita itu terbalut sutra jahanam
Tertawa geli menyibak dosa
Luasnya kepala lelaki tak akan mampu menafsir jiwa wanita
Sebab terhalang oleh mata pisau hasratnya
Pun katakan wanita mana yang tidak ingin menunjukan lipstiknya
Yang tidak lain ingin dipuji bagian tubuhnya

Majalengka, Juli 2020.
 


Subaidi 
APA YANG TERJADI

Bismillah,
Aku berlayar ke tanah rantau
ada cita membangun ke bahagian
meski debur ombak menghantam 
angin menghambat perahu 
tak akan aku berlabuh

Aku telah berjanji
Membangun sejarah dengan adukan nyeri
tetesan tangis telapak surga bekal do'a
karena Ocehan selalu merendahkan, tanpa timbang kebenaran

Hatiku berdetak
terkurung tanda tanya?

Tapi siapa yang bisa menjawab
bila hidupnya, hanyalah berlian semata
semua berlomba tabungan rumah
supranatural atau nujum di tanam do'a

Kita hanya pasrah
dunia hanya jembatan 
antara anggun dan luka

2020
 


Dedi Wahyudi
Hilang di Bulan Juli

Ada yang hilang 
Di bulan ini
Bulan ke tujuh
Sepi tanpa beritamu
Hanya namamu yang terkenang
Bait-bait puisimu
Mengisi relung kamarku
Engkau pergi tanpa pesan
Tanpa kata-kata terakhir
Biarkan aku sendiri
Mengikuti tapak-tapak sepasang kakimu yang masih tersisa
Apakah masih ada untukku?
Tuan mengapa cepat dirimu pergi
Sebelum Tuhan mempertemukan kita
Semua sudah ditakdirkan waktunya pulang
Kembali ke tempat asal

Karimun,19072020
Pukul 12.45 wib
 


Hariyanto 
SERPIHAN LEPAS DARI LUPA

aku hati yang terkikis rindu
lalu sisanya membatu bersama kenangan
tertata rapi di museum dalam candicandi sepi

pada lumut aku berpesan:
sebelum gerimis meniadakanku
sisakan sedikit  kebahagiaan bulan pebruari

walau sering singgah di dadamu
tetap saja aku akan benarbenar punah
bersama mengeringnya daun tembakau
yang menjadi awan di awal hujan

sebelum abadi pada lupamu
Semoga kisah perjumpaan antara aku dan keabadian
di mana kebahagian dan penderitaan menyajikan secangkir susu dan sebatang cerutu yang dipetik dari kisah kita
menjadi serpihan yang lepas dari lupa 
membentuk museum sendiri di balik cermin kebersamaanmu dengannya


19/07/2020
 


Gusti Fahriansyah
Sebelum Hujan Meninggalkan Bekas

Hari yang basah, dengarkan ritmisku. Menyentuh tanah dan kuyup. Di jendela yang menyimpan segala renta, ada beberapa kasih menarik ingin aku kisahkan padamu. Seperti, aku yang tak bisa rintik, namun basah tanpa sengaja. Aku ingin berlarian di kota yang bisa kuartikan mengeja gila. Gila yang menjadikanku kekar tangkar, dari segala yang tengkar sebelum aku membaca cinta. Tapi aku tak berhati-hati pada kata itu. Aku mencoba keluar dan meratap kendaraan yang teramat cemas, lalu lalang di kepala. Getar kakiku dipaksa maju meninggalkan kursi, meja, kopi di rumah. Segalanya sangat bebas di luar. Aku berteriak sambil mengacungkan kertas puisi. Berlarian, melompat-lompat, keliling, serta menolak otak pada hal pusing. Sumpah aku lupa. Hujan yang dari tadi menghentikanku membuat segala yang luka tinggal, mungkin. Mungkin selamat dari segala sehat, atau korban kelaparan sebab mengganti mata ibu di saku dada, dengan mata yang aku tak tahu milik siapa. Tapi lepas dari semua itu. Aku tiba-tiba terkapar di jalan, yang tak sampai kutempuh separuh. Puisi dan aku menjadi medan tabrak lari. Darah bersimbah menyembah yang lewat. Aku ingin pulang ke rumah. Namun, hujan menghapus jejak dan melangkah pergi. Pusing datang berkeliling, aku meronta, memeluk lutut sendiri, menahan pandang pada pelangi yang tersenyum karna indah seorang diri. Sejak itu aku terus berkawan kaca. Tak terus berhenti hati mengingatnya. Baju dan celana yang kukenakan di waktu itu, kubiarkan amis darah. Menunggu hari basah selanjutnya untuk kupakai. Di hari ini.

Juli,2020
 


Wardah Az Zahra
Bulan Jatuh di Pelupuk Matamu yang Teduh


Matahari telah terlelap
Embun-embun berebut tempat di daun talas
Bunga-bunga gigil
Sedang kunang-kunang menghias dinding-dinding

Gerimis tiba-tiba datang ketika harum sedap malam menguar dari pekarangan
Siput malu-malu melihat wajahmu yang merah jambu

Kemudian aku melihat bulan jatuh di matamu yang teduh
Lalu kugiring doa
Menuju langit 
Semoga senyummu bisa selalu kunikmati
Hingga waktu tak mengingat namaku lagi

Surabaya, 22 Juli 2020



Andika Dwi S
pancarona kisah

samak tulang kaki mengayuh impi, kulit daksa aliran sungai peluh, merubah keriput di pipi Ibu jadi senyum madu.

rampak rindang pohon-pohon sarang emprit ayun-ayunkan wajah seorang yang membisu.

abjad berceceran di taman sanubari dan akan tumbuh pancarona dalam hati.

senja di kulon aku titipkan kisah dalam keindahanmu, sampaikanlah pada mata yang aksa merinduku.

Malang, 2020
 


Nova Enggar Fajarianto
Tanda Tanya

Angin menikam masa
Berguru kata 
Mencari candra
Ramuan bintang bertahta
Sekejap mata 

Aroma sunyi datang
Menghardik cinta tanda tanya 
Dalam sinar kunang-kunang terbang
Sukma menerima bimbang

Pelankan saja langkahmu
Pulas jarak 
Menjadi pelangi 
Tapi bukan melangkah pergi 
Menyerah dan berhenti

Untuk kali ini saja minumlah jamu
yang diciduk Ibu, dituang ke hatimu 
Biar rindu sembuh dulu 

Jakarta, 5 Juli 2020



Mona Fatin Fijriyah
Memorilibilia Cinta

kukenali bibirmu
sejak saat itu, kekasih
ingin kutulis puisi
sebanyak bulir hujan
dengan derasnya kecupan
dan setelah semua puisi itu
menjadi indah di bibirmu
aku ingin segera menyembunyikan dalam genggaman
kelak bila suatu hari
saat aku merasa sepi dan ditinggalkan
akan kurebahkan telapak tanganku di dada
supaya pilar-pilar jantungku akan segera menyala

Bandung, 23 Juli 2020
 


Ahmad Sanusi
KOTA KERIS

Nun
Kota kita melipat jarak
Berlayar di laut lepas
Menunggal kesakralan dalam sejarah
Derap langkah dan kerapan sapi batinku sempurna menunggang masa sang Pak Sakera
Gulungan ombak diantara pulau-pulaumu merintih tanpa henti
Gunungan garam tertata rapi serupa atap rumah
yang melindungimu dari kenakalan mata para lelaki

Namun
Ada yang lebih memukau dari bait-bait doa
dan puisi yang kau panjatkan di hari yang menua
Sebuah besi berlukis hanacaraka yang berbentuk 
batang kurma tertancap kokoh dalam jiwa

Juli, 2020


Mistiyana TW
Pahit dalam Secawan Madu

Asupan Katamu Melebihi Manisnya Madu
Dekapan hangatmu menghangatkan relung jiwaku
Tiada perhatian yang mengalahkan perhatianmu
Tiada kata resah yang mengalahkan keresahanmu
Kau selalu tuangkan sajak halus pada setiap waktu 
Hingga aku lupa 
Tentang sakit pada akhirnya
Luka pada akhirnya
Aku mengingatmu sekarang
Karena tetang kamu dulu
Yang hanya mendambakanku
Pikirku seperti itu
Namun 
Bulan tak seindah dengan apa yang aku lihat
Matahari tak sehangat seprti yang aku bayangkan
Kau terlalu nyaman bermain dengan Hati
Hingga Aku lupa rasaku mati karena hati
Aku pergi sebelum kesedihan menjadi tangisan
Karena Aku tau berada di dekatmu hanya menjadikanku ingat akan sesal telah mencintaimu.
                     Lesong, Juli



Shonhaji
Pasrah

Jika kau butuh jantung kuberikan milikku katamu

Memang itu milikku
yang kutitipkan padamu
Karena ku tahu hanya kau yang mampu menjaga detaknya kataku

Juga hatimu itu hatiku kuserahkan padamu agar kau pakai membangkitkan daya hidupku yang bisa lumpuh sewaktu-waktu

Ya mataku adalah matamu bibirku adalah bi birmu tangan kakiku adalah tangan kakimu seluruh hayat tubuhku adalah dirimu katamu

Juli, 2020
 


Herlambang Kusuma W
MASIH KUTEMUKAN HUJAN BULAN JUNI
: Sapardi Djoko Damono

Kemarin masih kutemukan rindu
Begitu tabah disetiap detak waktu
Menyembunyikan rintiknya hujan bulan juni
Yang abadi di bait-bait puisi

Kemarin masih kutemukan jejak kaki
Begitu bijak menghapus setiap ingatan
Yang ragu-ragu menapaki genangan kenangan
Menjadi sajak yang tak pernah fana

Kemarin masih kutemukan kata-kata
Begitu arif menuliskan setiap kalimat
Yang tak bisa diucapkan dengan bunga
Membiak di pohon-pohon puisi

Hari ini masih kutemukan
Larik-larik sajak yang tak kau relakan sendiri
Seperti katamu: 
"Yang fana adalah waktu. Kita abadi."
Meski kini kau telah ke haribaan Ilahi

Bandung, 19 Juli 2020
 


Enno Salsa
Ruang Kosong

Hingga pada akhirnya, pertemuan
Ialah ruang paling bisu
Percakapan debu di atas meja usang
Dan laba-laba riang menyusun sarang

Mungkin yang tersisa hanyalah derit lemari
Rusak dalam jamuan gerombolan rayap
Tikus berpora dalam pengap menusuk-nusuk
Ingatan: Tuan Pemilik Kamar

Hingga kemudian, deretan pedih
Tak berkesudahan ialah bangku panjang
Tak bertuan, tak bernama
Pada kegundahan yang makin mengakar

Jika esok masih menyuguhkan pagi yang sama
Pun senyap yang terlanjur setia
Biarlah aku rela terus menunggu
Pada ruang kosong di bilik ingatanmu

23 Juli 2020
 


Edmalia
Di Sudut Museum

Orang orang berkerumun
memandang prasasti pekan ini
sang pemandu berkata
"Itu surat kabar,
yang itu surat cinta"

"Paman, cinta itu apa?"
sela sebuah suara

Malu-malu dijawabnya,
"Ada di ruangan sebelah"

18 Juli 2020
 


Nugroho Putu
Larut dalam Puisi: Sapardi

sejak mula puisi kukenal, dia kental larut di dalamnya
bagaimana belajar mencintai dengan sederhana;
bagaimana menyadari waktu yang fana;
dan tokoh buruh yang menjadi alroji berdetak dalam dada

dia mengajarkan bahwa puisi itu bunyi
dan menjadi lirik lagu adalah jelmaan puisi terindah
menghadirkan makna kata itu mudah betah dalam hati
menjemput air mata tumpah saat meresapi

eyang Sapardi adalah eyang puisi
eyang yang sayang cucu
sabar mendampingi puisi untuk terus beraksi
tetap hangat menghampiri pembaca tak sekadar jumawa di podium sastra angkuh

tak lama setelah bulan Juni tahun ini kita rayakan
dia pun pamit meninggalkan kita
jejaknya ada dalam bait bait puisi 
terbenam dalam hati, terus menyihir hingga titik akhir 

Muntilan, 19/07/2020
 
KUMPULAN PUISI
ANGGOTA KELAS PUISI BEKASI (KPB) KELAS B
BULAN JULI











TEMA
1. IDEOLOGI
2. EKOLOGI
 


Alvin Hasanul Kamil
Antar Ideologi, Cinta, dan Merdeka

Dari segala macam negara—Ideologi bak tanah mendarah daging
kuberi tahu kau, kekasih; bahwa aku bukanlah faham konservatisme yang mencintaimu dalam kisah tradisional seekor ayam jantan yang diadu ditengah hutan ujung pulau jawa
Dan fahamku bukan jua faham komunisme yang mencintaimu demi keadilan buruh semata dalam pemberontakan sosial tentang uang yang tak setara air keringat di dagu bapak tua
Pun aku juga bukan faham kapitalisme kekasih, yang mencintaimu dengan segemericik uang di saku celana Segala fahamku tentang materialisme tujuan cintaku padamu; bukan pula ketika kau jatuh dalam pelukku; kurenggut segala kau punya tubuh

Aku ini cuma faham, bahwa mencintai kau adalah sunyi bekerja dalam hari-hari
sederhananya mencintaimu adalah kemerdekaan yang selalu ku puja
Diam tanpa fana—Mencintaimu tanpa fatamorgana
.
Bekasi, Juli 2020.
 


Budhy Setyawan
AIR MATA BURUNG

seekor burung pada puncak sebatang pohon hanya menabung cemas di penampang hari. diawali suara menderu di kejauhan, gerigi monster yang mengamuk tak tertahan. ada tajam yang mendesak, ke dalam lingkar tempatnya berpinak. seperti telah siap mengerkah ia dan kekuarganya, yang tak tahu mesti pada siapa bertanya. ia seperti berkata: apa masih ada yang mendengar kami berteriak, jika semua yang bernama telinga telah pekak badak.

terlihat pohon satu per satu tumbang dan deretnya makin mendekat. seperti tikaman nasib yang selalu berulang, dan langit makin saja penuh asap dan pekat. kepergian daun, ranting, dahan, dan batang yang tak kuasa menampik dari terjangan angin, di luar musim, di luar yang mereka ingin. napas napas busuk manusia itu adalah badai, seringai yang teramat lapar, memotong semua yang menjulang, meratakan segala ihwal yang memberi rindang. 

udara jernih hanya tersimpan dalam sejarah, yang perih saat dibaca dengan tatap di cuaca kian gerah. burung itu menerbitkan embun di sudut matanya, dan teramat lirih seperti berkata: barangkali pada anak anak dan cucu cucu kami, tak ada sebatang pohon pun berdiri. dan pada waktu itu, mereka akan berumah pada angan, pada gugus gugus kehilangan. 

Bandung.2020.
 

Alvin Hasanul Kamil
Suatu Hari di Pojok Jakarta
.
Nduk, siapkan sampan, bapak ingin berlayar mencari ikan di tengah pantai
Tapi pak, pantai yang di tengah sudah menjadi pulau yang megah
Siapkan saja nduk, pantai itu luas nduk, melebihi kapasitas daratan
Tapi pak, daratan ingin diperluas karna sudah tak cukup ruang untuk kekayaan
Siapkan saja nduk, kita butuh makan dari hasil tangkapan ikan
Tapi pak, ikan-ikan sudah sulit ditangkap karna airnya hitam
Nduk, kita ini orang-orang pesisir mencari makan dari hasil tangkapan 
Meski laut sudah berubah; kita tidak boleh punah nduk
Baik pak, sampan sudah menunggu tenggelam di tengah lautan, karna mengganggu kapal kiriman barang yang berlalu lalang, selamat jalan pak
biar nduk, menyusul nanti saja, setelah tidak tahan puasa karna menunggu bapak yang tak kunjung datang
.
Jakarta, 2020
 


Ade Maulana Aji
Cinta yang Menang

ada yang berbicara tentang strata
tapi gandrung akan tahta
ada yang berbicara tentang kebebasan
tapi sering kali kebablasan
dunia ini tak lebih
dari pertikaian dan cinta
apakah kita akan hancur
dalam pergumulan?
atau bahagia karena cinta,
aku mau cinta yang menang.

Juli, 2020



Riami
Laut Berduka

Laut menangis, sampah-sampah plastik terapung
Darurat populasi laut
Tidakkah kau takut menjadi darurat kesehatan manusia
Sampah mengancam ekologi dengan ganas!

Terumbu karang berteduh di bawah sampah plastik
Napasnya tersengal, udara dan cahaya matahari tertebas racun plastik

November berduka, paus tewas di Taman Nasional Wakatobi, perutnya penuh peluru plastik

Oh! Sampah plastik semakin menggila! 700 kantong pertahun? Ini benar-benar gila
Coba bayangkan jika manusia hidup di laut
Mampukah makan plastik?
Alangkah ngerinya jika ikan-ikan itu dimakan  anak cucu kita, mungkinkah gizi polusi plastik? 
Oh Tuhan....

Sampah plastik terhempas, pecahlah partikelnya menjadi mikroplastik yang siap membunuh ikan-ikan

Ikan menjadi santapan kita, ternyata sudah lama makan plastik! Mengerikan! Kita manusia plastik? Benarkah?

Laut menjerit, tapi jeritnya belum terdengar, semakin hari jeritnya semakin lirih
Laut terkapar dalam gunung sampah



Catatan sumber Informasi:
Kompasiana.com, 29 Juli 2019
"Laut Indonesia Darurat Sampah Kita Harus Bagaimana" Oleh Penny Lumbaraja

Bukit Nuris, 2020
 

Dedi Wahyudi
BERANI BERMIMPI

Wahai jiwa-jiwa yang gundah
Mencari jati diri sebenarnya
Tuangkan segala yang tersembunyi
Di lubuk palung hati
Jangan ragu atau malu
Wujudkan diri
Dengan berani bermimpi
Untuk mengapai cita-cita yang masih malu-malu
Untuk keluar dari gua pertapaan

Solo ,27072020
 
Sudarmono
SEDEKAH BUMI

Sungai banjir
gunung meletus
dari ramalan coba jejak kan
kakimu dari dataran muram
renta bumi duka wajah murka
manusia menanggung bencana

Kota baru setiap detik muncul
menghuni nafsu memburu rakus
saling memangsa diantara kita
ibu kita ibu pertiwi bersusah hati
hutan gundul tanah mandul
revolusi industri makan korban phk

Usai ramalan Joyoboyo Ronggowarsito
banyak lagi ramalan akan tiba
saling salah menumpahkan darah
hajad hidup tak tercukupi dari isi bumi
suku suku  bangsa saling menindas
berebut pengaruh memuja berhala


Andika Dwi Setiawan
Mana Tanah Airku 

Di tengah urban ini kumerenung
melihat figur-figur agung mainkan fiksi
menyusun formatur freedom
demagogi insan nan tertindas.

Tanpa pikirkan ekstensif
tanah subur kini tandus,
udara segar kini jarang,
air mengalir teracuni limbah.

Mana tanah airku nan dulu kala,
rindang pepohonan indah, 
sejuknya udara,
bersih air mengalir,
juga tanah subur.

Apakah ini kemerdekaan?
atau, awal penjajahan
jiwa terasa taklid buta
semoga tanah airku tak murka

2020
 


Alvin Hasanul Kamil
Apa Kabar Jakarta?

Hujan rinai di antara kepal dan kepul asap semalam, sebatang rokok yang hampir basah perlahan di lalap barah Habis dan terbuang, menjadi titik hiasan di tengah megah gedung pencakar langit Jakarta.
Jakarta, baik katanyaa. Ibu kota, sudah lama saksinya. Asapnya tebal, mulai perkiraan, kata seorang pengamat dari balik gawai. Sudah tak baik untuk pernapasan, hingga nenek tua itu sering sesak napas kemudian. Kendaraan berlalu lalang; Jakarta sering ramai dan kata penyair kemarin Jakarta kota kasih sayang.
Ah Jakarta, saksi kota yang tak biasa kau sering sakit-sakitan sekarang, sering demam menjelang akhir tahun dengan genangan air yang suka dibicarakan orang-orang.
Jakarta, panggil sebuah cuaca. Kau kota yang kutanya, dari lentera monas "Belum selesai kau diserang demam—setiap menjelang perebutan kekuasaan  kau bahagia, mendapat seamplop janji untuk disehatkan kembali sebagai kota yang bernyanyi bersama cuaca". 
Ah Jakarta, bagaimana menyelamatkanmu dari demam itu? Tanya cuaca. "Sebaiknya kita pindahi saja ke sana untuk ibu kota; biar mereka tahu aku rusak karna ulah manusia". Sahut Jakarta; anehnya payung di atas kepala Jakarta tak berguna—ketika air hujan mengalir di pipi Jakarta, huh sialan payung sia-sia.
Jakarta kota kasih sayang; Ibu kota tak boleh lekang dari Jakarta demi keamanan dan kesehatan bersama; Jakarta sudah terlanjur terbalut lumpur—hanya seekor binatang yang tahu bagaimana merawat Jakarta; sebab manusia sering lupa"~Kata cuaca.

Jakarta, Juli 2020
 


Alvin Hasanul Kamil.
Langit Jakarta Sore Itu"
.
Ada hari-hari langit tak memiliki warna biru, ia kelabu menjelma pada aroma bau hujan sore itu. Sekuntum bunga mawar yang pernah kau saksikan pada waktu itu, kini layu dan mengering lalu menghitam. Cuaca diciptakan memiliki ragam. Setiap hujan turun, pelangi tersenyum bila kau lihat disebuah air terjun. Aku akan menjagamu disetiap ruang dan waktu, meski hanya sebatas kupu-kupu yang berkeliaran kelangit hitam, dan menjelma kata pujaan. Aku rasa langit Jakarta sore itu menyerupai sebuah keresahan isi dalam dadaku. 
Aku Merindukan, meski bukan dengan perjumpaan~
.
Jakarta, 2020
 

Nugroho Putu
Tangis Bumi

getar tak dari gempa
paku bumi ditancappaksakan
di mana-mana jejak jumawa jadi tanda
gedung megah bukti pongah mengangkasa

air langit terhalang pulang
menghambur guyur lantai dan atap 
bercampur lumpur nurani lindap
berbisik lirih ratap bumi terulang-ulang

manusia menghadap
berdalih jalankan peran khalifah 
semua atas nama kemanfaatan
agar setiap fana tetap bermakna

manusia menyimpan harap
dalam kerpurapuraan
setiap hasrat seolah perangkat
setiap ambisi seolah api yang berpuisi

rakus pun meringkus tata kota
tikus lahap mengoyak buku dan kata
belati politik menikam alam
berita ceria menyiarkan tangis bumi di hari kelam

29/07/2020
 

Barjeh 
Akar-akar Waktu

Kita memutuskan untuk bertemu di akar udara 
Dengannya menata taat yang di langitkan dalam gemuruh doa

Kita memutuskan merawat ingatan di akar gantung
Sebab moga saja apa yang kita usahakan 
Mengalir berkah dan rahmat-Nya

Akar napas barangkali bisa menjadi penopang syukur 
Yang membuat kita seringkali kufur

Ya kita perlu menyelami akar-akar pohon biar menyelami waktu 
Dengan jam yang berfotosintesis dan berklorofil

Kamar Sendu, 30 Juli 2020
 


Suhendi RI
TRIPLE X

Ragu? Apa yang kau ragukan
Aku sudah telanjang, kenapa diam!
Menatap maha karya Sang Pencipta

Tak perlu bicara ideologi pancasila, di sini
Tubuhku korban dari kemanusiaan
Tuan mabuk, berapa butir pil norma kauteguk?
Silakan minum susunya sebelum menjadi tuba

Ragu? Apa yang kau ragukan
Bentuk indah terlampau sempurna, lihatlah!
Sisi bidang padat menjulang tinggi
Ditumbuhi ilalang pencakar langit
Tidakkah kauingin berenang di birunya telaga
Melepas anak-anak katak?

Kaubilang danauku terdampak limbah industri
Ya. Dan aku menyelam ke dalam sampah-sampah pabrik
Membesarkan ikan-ikan naif yang tak berdosa

Ingat! Aku tidak seperti lambang hukum
Telanjang menutup mata, menikmati juga
Karena ketelanjanganku adalah kebenaran yang sesungguhnya
Merasai tiap jengkal penderitaan dari atas sampai bawah

Ragu? Apa yang kau ragukan!
Panorama wujudku tercipta natural
Selagi ranum petik dengan hasrat membara
Sebagai pencuci mulut selama menunggu bulan merah
Lalu kau mencuci tangan, berseka
Menjumpai matahari di taman kota

Jakarta, 30 Juli 2020
 


Ade Maulana Aji
Ekologi Diri

sungai-sungai itu mengalir ke dalam diri
keruh, dan membawa sampah-sampah hati
pada muara lambung yang payau,
ia cemari laut di metabolismeku
dan ikan berduyun-duyung datang
memakan sisa-sisa sampah itu
seperti truk sampah dikerubungi
para pemulung.
lalu datang nelayan diri
menjala dan menangkapnya
dijajakannya di pasar lidah itu 
dan tenggorokan,
hanya menerima lapang.

Karang Bahagia, Juli 2020


Hariyanto
TITIPAN PENCURI 

aku titip hasil curianku
segenggam suara pangilan kodok pada hujan
simpan pada relung ingatanmu
di negeri demokrasi yang kapitalisme
ini akan jadi barang langka

esok hanya akan kau dengar 
suara menderu titipkan karbon dioksida
pada awan yang menjadikan hujan
tidak lagi mengenal musim

"aku harus pergi jaga anak kita
satu suara kodok di sawah kakek belum kucuri" bisiknya

sesaat kemudian udara dari kejauhan
datang membawa suara kodok dan deru peluru serta teriakan suaminya memanggil namanya disusul kesunyian menyusupkan penantian penuh cemas


30/07/2020
 


Irsyad
Kepompong Batu

Kupinang kau dengan sebening embun pagi ini, melintasi jalan-jalan; matahari menyeringai, tertawa berbalut bunga dengan harum kuntum popy. Bila aku berwujud kepompong, serahkan pada indukku, agar luka tak memberat dan meratap seperti kodok-kodok penjaga telaga.

Biarkan aku lepas pagi ini. Biarkan, aku lahir sebagai Dewa yang menaungi satu persatu dedayang negeri. Sengaja aku memaku menunggu datang seribu tahun. Menjadi benih, benih yang memangku penjuru embun pagi ini.

Ah, merah kelabu batu pasak melipati jarak. Lihatlah anak-anak burung itu, Heckel. Makhluk hidup yang menangis melihat sebatang sungai kering. Ah, jilatlah leherku bersama sayapmu. Biarkan diriku terbang menuju negeri masa depan nyang jauh. Tak tahu akan kabar kembali atau datang dengan sayapku yang patah di dalam ruang sunyi.

Patah!
Patah sudah. Menjadi pengelana kesepian. Tetapi dayang-dayang melihatku dari awan. Seperti terbayang singgasana kabut. Melihat seekor angsa berenang ke sungai surga.

Trenggalek, 2020

Terinspirasi dari puisi berjudul "Lebah Batu" Karya Nirwan Dewanto
 


Herlambag Kusuma W
PERCAKAPAN MALAM PURNAMA

Senja pudar. Malam purnama. Bulan terlihat mempesona. Seperti seorang bidadari yang elok parasnya. Malam bertambah larut. Udara dingin menyelinap disekujur tubuh. Mataku perlahan terpejam.

“Kenapa engkau memandangiku?” tanya bulan menghampiriku.

“Memangnya tidak boleh aku terpesona olehmu?” jawabku.

“Boleh, kamu boleh memandangiku sampai kapanpun. Malahan aku begitu senang jika masih ada manusia yang ingin selalu memandangiku."

“Kenapa engkau tanyakan itu?”

 “Karena sekarang ini jarang sekali bahkan hampir tidak ada manusia yang memandangiku di malam hari."

“Dan bolehkah aku bertanya kepadamu?”

“Silahkan jika ada yang engkau tanyakan, dan aku akan menjawabnya jika mengetahuinya."

“Apakah engkau tahu dimana anak–anak sekarang biasa bermain di malam hari?”

“Karena tidak aku temui lagi mereka bermain di pelataran rumah pada malam hari."

"Aku bosan, tak ada riuh tawa dan canda anak–anak bermain di pelataran rumah saat malam hari."

"Kenapa engkau bosan, bukankah engkau selalu di temani bintang gemintang?" sergahku.

“Memang bintang setia menemaniku, tapi aku ingin mendengar senandung nyanyian anak–anak bermain di pelataran rumah saat malam hari."

“Sepertinya mereka sedang asyik menikmati tontonan televisi dan bermain gawai."

“Memangnya televisi dan gawai lebih menarik dariku?“

“Lalu, apakah kamu juga mengetahui dimana pemuda pemudi biasa memadu kasih?“

“Biasanya mereka selalu memandangiku di taman, tapi sekarang tak kutemui lagi."

“Sepertinya mereka sedang menikmati malam di kafe, discotik, karaoke atau tempat hiburan lainnya yang ingar bingar."

“Apakah mereka juga sudah bosan untuk melihatku?“

“Lalu, kemanakah perginya sungai–sungai yang dulu sangat aku sukai untuk berkaca, karena airnya yang jernih dan ikannya yang suka berkecipak?"

“Sepertinya air mereka tergantikan dengan air kopi susu dari sakan para pelimbang, limbah dari industri dan kotoran sampah manusia yang tidak bertanggung jawab."

"Kemana juga perginya burung-burung karena tak kutemukan riuh di pepohonan?"

“Sepertinya pohon–pohon itu telah menjelma menjadi bangunan–bangunan raksasa pencakar langit dan banyak juga yang telah terbakar atau dibakar."

“Sekarang aku tahu apa yang terjadi di bumi, terima kasih telah berbagi cerita denganku, " tukas bulan.

Suara adzan subuh mulai berkumandang. Aku terbangun.

2009-2020

Komentar